Mencari Majas dalam Novel - Hafizh Nur Athaya

Perbandingan:
·        Antisipasi: “Sama sekali bukan karena dia anak rumahan yang lebih suka mendekam di kamar, atau karena dia benci kerumuan, bahkan bukan karena dia tidak kuat begadang-kalau sedang asyik menulis naskah novel baru, tidak jarang Raia melek sampai subuh.”
·        Metafora: “Semua yang hadir sudah terlalu intoxicated untuk menyetir dan mencari taksi jauh lebih susah daripada mencari jodoh.”
·        Perumpamaan: “dia harus menyiapkan mental dan memberikan tanggapan yang diplomatis kepada sang produser, wartawan, dan lebih parah lagi, pembaca-pembacanya yang setia,…”
·        Perumpamaan: “Dalam gelak tawa atau seruan di meja sebelah saat dia mulai kedinginan atau letih dan memilih masuk ke kedai kopi untuk menghangatkan diri.”
·        Pleonasme: “Raia bisa melihat kedua matanya kembali berbinar-binar, tidak kelam, tidak “mati” seperti biasanya.”
·        Pleonasme: “Manhattan memutuskan memulai Januari dengan sedikit hangat.”
·        Antisipasi: “Raia terduduk di kursinya, dalam keadaan syok menarik tali sabuk pengaman dan mengencangkannya.”
·        Antitesis: “Kalau nggak putih, abu-abu, hitam.”
·        Personifikasi: “Mereka akhirnya “terdampar” di Harvest on Fort Pond,…”
·        Personifikasi: “Matanya nyalang memindai ruangan itu sekali lagi, mulai resah.”


Pertentangan:
·        Apofasis: “Orang-orang yang merasa harus berpesta untuk menandai pergantian tahun padahal sesungguhnya tidak ada yang bisa dirayakan dari hidup mereka dalam setahun terakhir,...”
·        Klimaks: “Baru setelah duduk  di kursi bioskop dengan sang produser di sebelah kanan, tangannya mulai dingin, tenggorokannya mendadak kering, dan jantungnya serasa ingin loncat dari dada.”
·        Klimaks: “Keirngat dingin mulai mengucur, perutnya mulas, dan tenggorakannya butuh dibasahi terus-menerus.”
·        Paradoks: “Bukan karena dia merasa tidak pasti dia bawa atau tidak, tapi teringat cerita yang melekat di gaun itu.”
·        Hiperbaton: “Jumat malam itu mereka ramai-ramai “lembur” di sekolah mempersiapkan acara pensi besoknya.”
·        Inuendo: “Damn, I really envy people who can draw, seriously. I have no art skill whatsoever.”
·        Inuendo: ““Bullshitting is also some form of art, no?”
“Ngeledek ya ngeledek aja, Riv.””
·        Paradoks: “Udah deh, nggak usah di jawab, ekspresi muka kamu udah cukup.”
·        Paradoks: “River mengucapkan sesuatu yang memudarkan senyumnya.”
·        Sarkasme: “Mereka bagaikan Tom & Jerry.”
·        Ironi: “”Really a pain in the ass,” gerutu Raia.”

Pertautan:
·        Alusio: “Dalam buku Outliers, Malcolm Gladwell beragumen kunci kemahiran kita dalam satu bidang ada ketekunan berlatih dengan cara yang benar selama paling tidak 10.000 jam.”
·        Alusio: “Writers perform the so-called counterfactual thinking all the time. All the time. For most people, counterfactual thinking is a habbit, but for writers, it is a necessity.”
·        Asyndeton: “Di balik komputer ada satu area berlapis soft board yang berfungsi jadi semacam pin board raksasa tempat River menempelkan catatan, gambar, foto, atau dokumen apa pun yang penting untuk referensi proyek yang sedang dia kerjakan.”
·        Asyndeton: “Raia menoleh kearah papan tulis kedai kopi yang ditulisi kapur putih. Americano, espresso, macchiato, cappuccino, latte, dan hot chocolate.”
·        Elipsis: “Tentang malam itu… di Montauk…”
·        Antonomasi: “si penguntit yang malang. Walaupun malang mungkin bukan kata yang tepat. Bodoh mungkin lebih pas.”
·        Elipsis: ““What does that have to do with…”
“It has everything to do with this!” tukas Erin bahkan sebelum Raia sempat menyelesaikan kalimatnya.”
·        Metonimia: “Hari jumat itu mereka terbang ke Melbourne, menyewa mobil dan berkendara ke Warnambool, Minggu merekakemabli ke Jakarta.”
·        Parelelisme: “Coretan, gambar, dan keringat itu akhirnya terwujud.”
·        Polisindeton: “Raia hanya bisa memandangi punggung River sampai akhirnya dia memtuskan naik taksi dan pergi juga dari situ.”
Perulangan:
·        Aliterasi: “satu-satunya yang dia inginkan adalah menjalani hari ini seperti biasa, seperti kemarin-kemarin, seperti tidak ada apa-apa.”
·        Aliterasi: “I go to Paris, I go to London, I go to Rome,…”
·        Epistrofa: “Dia menunggu lima menit, sepuluh menit, lima belas menit.”
·        Epistrofa: “mungkin lima detik, sepuluh detik, atau lebih, sama seperti dia tidak pernah mengukur berapa lama setiap hari dia menghabiskan waktu dengan Raia.”
·        Antanaklasis: “My First New York: What makes one a real New Yorker is the conscious decision to be one.”
·        Epanalepsis: “Begini lebih mudah, batinnya. Lebih tidak menyakitkan begini.”
·        Epizeukis: “Orang-orang sering membahas hal-hal seperti apa yang akan dilakukan jika tahu ini hari terakhir mereka hidup, atau jika hari ini hari terakhir mereka berada di suatu tempat, atau jika ini hari terakhir mereka bersama orang yang paling mereka sayangi.”
·        Epizeukis: “mengeluarkan kemasan bumbu-bumbunya, membubuhkan bubuk bumbu, dan meneteskan minyak bumbunya,…”
·        Asonansi: “When you’re here, both your eyes and your ears are telling you that you in a park.”
Antanaklasis: “Because you’re as lost as I am, Raia. And in a city this big, it hurts less when you’re not lost alone.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Short Story - Ahmad Nuzul Lindu Aji

Penyuntingan - Hafizh Nur Athaya

Mencari Majas dalam Novel - Afifa Adiningtyas